KABAR PAPUA

Maju Membangun Bangsa

Pemilukada Supiori, Lambang Pemborosan

Enam Kandidat calon Bupati dan Wakil Bupati, merebut tiga puluh persen suara dari sebelas ribu lebih pemilih, apakah bisa?”

Oleh : Hendrik Hay
Musim Pemilihan Umum Kepala Kepala Daerah (Pemilukada) tahun 2010 ini banyak hal baru bermunculan, mulai dari trik-trik politik politisi lokal sampai dengan klaim dukungan dari Yang Maha Esa (YME) yang kesemuanya hanya bermuara pada satu tujuan, yaitu menjadi orang nomor satu di Kabupaten/kota tersebut.
Namun dari semua Pemilukada di Indonesia, Pemilukada di Kabupaten Supiori tahun 2010 ini memiliki keunikan dan patut dijadikan sebagai contoh bagi para pembuat kebijakan di Jakarta. Me­ngapa demikian? kare­na pulau berpenduduk paling sedikit di Povinsi Papua berdasarkan data SP 2010 yang hanya dihuni limabelas ribu jiwa itu dengan total ternyata diajang musim Pemilihan Umum Kepala Daerah tahun ini, ada enam kandidat kepala daerah yang “menjual diri” pada masyarakat Supiori untuk dipinang menjadi orang nomor satu dengan total pemilih berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dikeluarkan KPU Supiori hanya 11.141 pemilih.
Mengapa unik? Ya, kare­na bila didasarkan pada logika maupun perhitungan matematis, yang mengharuskan calon kepala daerah setidaknya harus mendapatkan dukungan suara paling tidak tigapuluh persen suara dari total suara pemilih sah, maka untuk pemilukada Supiori yang menawarkan enam kandidat calon kepala daerah hal itu tidak mungkin alias imposible.

Dengan demikian untuk mendapatkan calon kepala daerah yang sesuai dengan acuan undang-undang pemilihan umum, setidaknya dibutuhkan dua kali pemilihan umum kepala daerah.

Yang lebih memprihatinkan adalah total DPT 11.141 suara, hanya delapan ribu penduduk saja yang menggunakan hak pilihnya. Dengan demikian “mustahil” jika ada kandidat yang mampu mengumpulkan tiga puluh persen suara. Walaupun KPU Supiori belum secara resmi mengumumkan perolehan suara untuk ma­sing-masing kandidat, namun perhitungan matematis yang didasarkan pada aturan perundangan yang berlaku, maka pemilukada tahap dua tidak dapat terhindarkan.
Akan tetapi jika hal ini didasarkan pada kondisi wilayah maka KPU maupun para pihak yang berkompoten di wilayah tersebut harus bisa menentukan sikap, pasalnya Undang-Undang yang mengharuskan calon kepala daerah harus mendapatkan tigapuluh persen dukungan dari total pemilih itu, dibuat dengan asumsi bahwa jumlah penduduk di masing-masing daerah kabupaten/kota tidak kurang dari limapuluh ribu jiwa, sehingga Supiori yang total penduduk 15 ribu jiwa dengan jumlah 11.141 pemilih menjadi bagian yang masuk dalam tata aturan tersebut alias ikut ramai saja.

“putaran pertama enam miliar, kalau lanjut putaran dua, maka pasti KPU minta dana dua miliar atau lebih lagi, uang yang banyak itu,” kata seorang Warga Supiori kepada media ini.
Ya, jika saja KPU Supiori melakukan pemilukada tahap dua, maka bayangkan saja, kabupaten yang baru saja bangkit dari badai keterpurukan alias banyak mendapat sorotan dari pemerintah pusat itu harus menggelondorkan sedikitnya uang rakyat yang bersumber dari APBD untuk pesta demokrasi tersebut.
Padahal disisi lain pembangunan infrastruktur dasar dalam hal ini jalan, jembatan, ketersediaan energi listrik dan telekomunikasi masih sangat minim. Pertumbuhan ekonomi rakyat juga tidak tampak, hal ini jelas tidak sejalan dengan cita-cita pemerintah memekarkan kabupaten tersebut.
Oleh karena itu, pemerin­tah pusat, DPR RI, DPD RI dan semua kepentingan di negara ini harus menaruh perhatian untuk penyelenggaraan pemilukada di wilayah-wilayan dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 50 ribu jiwa seperti yang saat ini terjadi di Kabupaten Supiori.

Jumlah penduduk paling sedikit di Papua, luas wilayah pun tidak sebanding dengan luas wilayah kabupaten/kota lainnya namun untuk menyelenggarakan satu pesta demokrasi tidak sedikit uang yang dihabiskan, padahal rakyat lebih membutuhkan uang tersebut.***

21 September 2010 - Posted by | Kabar Terkini

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar