KABAR PAPUA

Maju Membangun Bangsa

OPINI

Papua Di Era Periode Yang Hilang………. Bagian II

Kepalaku hampir botak, kalo memikirkan negeri ini. Persoalan di Papua seperti tak kunjung selesai. Papua dengan sumber daya alamnya merupakan potensi besar yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini. Namun, bagi saya ada beberapa factor yang menyebabkan Papua selalu miskin. Pertama, terminologi kemiskinan ala Gubernur Barnabas Suebu, SH yang terkenal dengan konsep pencangkokan ala Meksiko, maklum sebelum menjabat sebagai Gubernur Papua periode 2006-2011 dia pernah menjabat sebagai duta besar Indonesia di Meksiko. Dengan Sistem pemerintahan ala Meksiko-lah masyarakat Papua makin ditipu hak-hak atas kekayaan tanah mereka ditukar kedalam bentuk bantuan. Seperti diketahui, ada sebuah wilayah di Meksiko, di pojok pegunungan tenggara ada serangkaian perlawanan sengit, begitu sengit, terhadap neoliberalisme yang dilancarkan bukan oleh sebuah organ perlawanan ideologis yang revolusioner, atau suatu mahzab intelektual kritis-radikal, juga bukan oleh suatu jaringan aktivisme internasional garis keras. Melainkan oleh sebuah gerakan adat orang-orang Indian. Gerakan adat Indian atau Zapatista merupakan gerakan perlawanan masyarakat adat yang berjuang menuntut pengakuan atas hak-hak mereka sama seperti di Papua ketika mendapatkan otsus sehingga mengalirnya uang yang banyak. Kalau di Papua kami kenal dengan sebutan dana RESPEK. Melalui bantuan 100 juta/kampung ini rakyat Papua seperti ditipu, Barnabas Suebu bagi saya bertingkah layaknya “ SANTAKLAUS ” dengan dibantu pimpinan SKPD yang bertingkah ala SUARTAPIT. Alokasi dana otonomi khusus di Papua setiap tahunnya mencapai 20 trilyun dan jumlahnya terus bertambah tipa tahun-nya, inipun belum ditambah DAK, DAU maupun dana perimbangan lainnya. Sedangkan meksiko ala Bas, programnya dilakukan dengan mengalokasikan 100 juta per kampong memakai dana otsus. Menyangkut dana respek, kenyataanya APBK senilai 100 juta hanya dinikmati segelintir aparat kampung maupun distrik, ini terbukti hampir setiap minggu Bar-Bar yang tersebar dikota Jayapura disesaki pengunjung yang notabane adalah aparat kampung maupun distrik. Tak heran banyak aparat kampung tertular HIV/AIDS. Selain masalah HIV/AIDS, melalui Respek inilah terjadi pengglembungan jumlah kampung maupun distrik. contoh kasus seperti Kabupaten Yahukimo, di kabupaten inilah mulai bermunculan distrik/kampung siluman yang lebih mengherankan lagi kampung yang tidak ada penduduknya bisa mendapatkan dana 100 juta tiap tahun-nya. Dana Respek Kalo dikalikan mungkin sekitar 600-800 Milyar tiap tahun-nya plus anggaran turun kampung(TURKAM) Gubernur, sisanya diperuntukan untuk pembangunan infrastruktur. Program Respek itu sudah kita ketahui bersama yaitu tidak lebih dari pada memberikan ikan kepada rakyat untuk dimakan habis bukannya memberikan alat pancing kepada rakyat untuk menangkap ikan. Program respek itu telah menciptakan sikap ketergantungan rakyat kepada Barnabas Suebu dengan cara membagi-bagikan uang minimal Rp100 juta per kampung tanpa terlebih dahulu melakukan persiapan untuk penerima dan mengelola uang tersebut melakukan pendampingan yang terus-menerus secara baik dan benar. sampai saat ini Barnabas Suebu banyak membicarakan soal dana Respek (rencana strategis pembangunan kampung) yang hanya digembor-gemborkan, padahal, jika dibandingkan dengan dana otsus ternyata belanja birokrasinya lebih besar daripada respek itu sendiri. Sesungguhnya respek itu hanyalah uang kecil dari dana otsus yang diberikan pemerintah pusat ke Papua, dengan nilai ratusan juta rupiah dan membuat masyarakat di kampung ribut. Ada kekhawatiran lain yaitu setelah gaya ala meksiko terus diterapkan, maka gubernur yang baru akan “pusing” menghadapi rakyat di kampung-kampung yang akan berbondong-bondong datang meminta uang pemberdayaan kampung lantaran mereka sudah terbiasa selama lima tahun dibagi-bagikan uang minimal Rp100 juta per kampung. Gubernur Suebu meninggalkan bom waktu untuk rakyatnya sendiri.” Otsus tidak membuat rakyat Papua sejahtera lalu minta merdeka “. Berdasarkan pengalaman dana Rp100 juta untuk rakyat di kampung hanya habis dipakai untuk biaya angkut pesawat terbang sekali jalan. Sementara menyangkut infrastruktur disinlah letak masalahnya, hampir 99 persen korupsi terjadi disini. Sejak tahun 2006-2010, Papua masih bergelut dengan sejumlah proyek fiktif, seperti pembangunan jembatan-jalan, copy paste program, Bahkan, Gubernur Papua Barnabas Suebu beberapa waktu lalu sempat direcoki DPRP terkait sejumlah proyek fiktif seperti Pembangunan ruas jalan Arso-Puay senilai 14 miliar, peningkatan ruas jalan Bongkran-Depapre senilai 21 miliar, pembangunan jembatan Kali Kopi di Timika senilai 4,8 miliar yang dibangun dan dikerjakan oleh PT.Freeport yang diperuntukan untuk masyarakat sekitar namun ada anggaran yang sama di APBD. lalu Kemanakah lari dana tersebut….??????? Ini hanya contoh kasus kecil. Rakyat berharap kepada Institusi penegak hukum juga, wah mereka ini kurang professional sepertinya hanya bisa mengungkapkan kasus kecil yang jumlahnya hanya ratusan juta rupiah. Berharap pada hasil audit BPK, waduh lembaga ini seperti laba-laba, untuk audit aja sejumlah oknum yang berkunjung ke daerah pulangnya pasti dapat uang transport 1 Milyar per-orang dari pemda, coba kalikan aja berapa jumlah Kabupaten kota di Papua yang mereka audit. Ini contoh kasus keci bro, saya yakin BPK pasti membantah. Sebenarnya, trilyunan rupiah yang dialokasikan Jakarta ke Papua dengan harapan ada pendidikan gratis, perbaikan taraf ekonomi dan kesehatan masyarakat. Namun semenjak otsus ini berjalan, rasanya semakin jauh dari harapan dan boleh saya katakan birokrasi di era kepemimpinan Barnabas Suebu merupakan era periode yang hilang dan menimbulkan kasus Korupsi terbesar dalam sejarah republik ini. Terkait kebijakan larangan ekspor kayu log, wah ini hanya sebatas retorika kosong, bagus dikonsep tapi pembalakan liar terus berjalan berkongsi dengan investor cina hutan milik masyarakat adat terus ditebang abis. Bahkan lebih jahat lagi dari eranya Soeharto. Ini juga contoh kasus ala Meksiko. Selain itu, keterlibatan LSM asing macam UNSAID, WVI, LSM HAM semakin memperuncing konfilk antara masyarakat Papua dengan Jakarta. Saya curiga keberadaan LSM asing di Papua sebagai kaki tangan intelejen asing “ agen CIA” dalam mensuplai data bahkan yang paling mengherankan lagi, begitu mudahnya mereka masuk dan bekerja sama dengan birokrasi di Pemerintah daerah. Barter data kemungkinan besar terjadi sehingga dari hari ke hari kondisi Papua semenjak otsus ini berjalan bertambah tidak pernah stabil. Maklum dengan keberadaan tambang emas di Timika yang katanya memiliki cadangan emas terbesar di dunia Kalo boleh usul sih sebaiknya Indonesia tidak usah pake mata uang kertaslah, mendingan diganti aja dengan mata uang emas, tentunya nilai mata rupiah lebih tinggi dari poudsterling. he.he…he Sejak Freeport McMoran mulai mengekploitasi emas, perak dan tembaga bahkan sejak 8 tahun terakhir diam diam Freeport telah memproduksi Uranium. Kontrak karya I yang di perbaharui pada 1991 untuk masa setengah abad dan kontrak karya II baru berakhir tahun 2014 buangan limbah-nya setiap hari berjumlah kurang lebih 300 ton dan telah menjadikan sistem sungai Aghawagon – Otomona – Ajikwa mengalami kerusakan total. Bahkan akibat limbah ini, ratusan km persegi hutan di sekeliliong Grasberg kini sudah menjadi padang tandus tanpa kehidupan. Minimal dengan kerusakan yang parah ini, masyarakat di Papua berhak menerima pendapatan yang banyak dari pengekploitasian yang super destroy ini. Tapi mengapa rakyat Papua belum mendapatkan haknya ? ada yang salah disini, dikarenakan kalau kita kaji ulang kontrak karya II Freeport, ada beberapa bagian yang janggal bahkan merugikan kepentingn Indonesia dalam ekonomi dan terlebih khususnya masyarakat Papua yang memiliki hak untuk merasakan hasil dari SDA mereka sendiri. Diantaranya menyangkut ketentuan royalti, atau iuran eksploitasi, menyangkut ketentuan iuran tetap untuk suatu wilayah pertambangan atau deadrent ( dalam hal ini, kalau lebih dikaji besaran iuran itu hanya berkisar Rp. 225,00 – Rp. 27.000,00 per hektar per tahun. Kenapa dalam hal ini penulis menyebutkan PT Freeport karena disinilah letak biang keroknya. Kolaborasi orang-orang “ Santaklaus” yang melindungi diri dari korupsi uang otsus dengan bertamengkan kepentingan asing di tanah Papua mungkin bisa dijawab oleh institusi maupun intelejen Negara itu sendiri . Terkait hal tersebut, semoga, pemimpin Indonesia dan Papua mendatang bisa mengkaji ulang kontrak ini, dan untuk KPK kami tantang keberaniannya untuk berantas korupsi ditanah ini jangan takut dengan kepentingan asing.” Ini kitorang pung tanah” sebelum Papua betul betul hancur dari sebelumnya.

Saly Maskat

Pemerhati Masalah Papua

Belum ada komentar.

Tinggalkan komentar